Minggu, 20 Januari 2013

Seputar Peternakan Ku

Jumlahnya terus menyusut, dan secara umum peternak mandiri saat ini dalam kondisi berusaha bertahan menjaga kelangsungan usahanya
Untuk bertahan menjadi peternak mandiri di saat ini dan di masa datang, diperlukan modal dan mental yang kuat. Tidak bisa sekadar pas-pasan, karena di saat merugi besarannya pun tidak tanggung-tanggung. Bermodal kuat tapi mental tidak kuat dipastikan akan mundur. Sebaliknya mental kuat tapi tidak bermodal cukup, untuk sekarang tidak ada lagi ceritanya. Demikian diutarakan Setya Winarno, salah seorang peternak mandiri dari daerah Bogor, Jawa Barat.

Masa keemasan usaha budidaya broiler (ayam pedaging) komersial bagi peternak mandiri sudah berlalu. Masa-masa peternak bisa mendulang untung besar hanya terjadi di era 90-an. Sebagai gambaran adalah apa yang dialami Yan Sudiyanto. Menurut pengakuannya, dari keuntungan skala usaha broiler 20 ribu ekor ia mampu membeli 2 rumah, 5 petak tanah,dan 8 buah mobil.  Ia menambahkan, kala itu usaha peternakan ayam 90 % didominasi peternakan rakyat. Dengan alasan kehabisan modal, di 1998 Yan dipaksa menyerah dan tidak lagi berstatus peternak mandiri setelah melakoni profesi tersebut selama 12 tahun. Kendati demikian, hasrat untuk kembali beternak broiler sampai hari ini belum padam. “Kalau ada yang beri modal saya beternak lagi,” ujar pria yang kini sibuk menjadi konsultan peternakan ini kepada Trobos Livestock.
Terus Susut
Berdasarkan versi peternak, yang diistilahkan dengan peternak mandiri adalah peternak yang membeli DOC (day old chicken/ayam umur sehari), pakan, dan obat–obatan kemudian memelihara dan menjual sendiri hasil produksinya. Fenomena terakhir menunjukkan, kelompok peternak ini keberadaannya makin tergerus. Jumlahnya terus menyusut dari waktu ke waktu.

Winarno menyodorkan fakta empiris. Kata pria yang juga Dewan Pengawas PPUN (Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara) ini, meskipun tidak ada data yang detil dan valid tetapi fenomena perkembangan negatif peternak mandiri bisa dibaca. Dicontohkan dia, saat PPUN berdiri di 2001 anggotanya sekitar 70 peternak mandiri yang terdiri atas 15 peternak senior dan 55 peternak yunior.
Setelah 11 tahun, peternak senior yang 15 orang masih bertahan dengan beberapa diantaranya semakin besar, tetapi sebagian besar mengecil skala usahanya. Sementara 55 yunior, melalui seleksi alam tinggal 7 – 8 peternak yang tetap bertahan. “Realitasnyasurvival rate (daya tahan-red) peternak mandiri setelah 10 tahun itu adalah 10 – 15 %. Mungkin kalau 15 tahun tinggal 5 – 10 %,” ujar pria yang biasa disapa Win ini.
Dipaksa Bertarung
Keterangan bermuatan keluhan juga disuarakan Sigit Prabowo, Ketua PPUN. Ia yang juga peternak mandiri di Bogor dan telah beternak 13 tahun mengisahkan, iklim usaha peternakan ayam saat ia memulai beternak sangat menjanjikan. Ia menyebut, populasi 5.000 ekor saja bisa memperoleh untung sampai Rp 20 juta. “Sekarang, alih-alih untung besar. Yang ada malah rugi,” keluhnya.

Ia mengurai pendapat, saat ini peternak mandiri dipaksa bertarung melawan usaha peternakan komersial kelompok kemitraan yang berafiliasi dengan perusahaan besar (baca: integrator). Semua peternakan ayam baik skala UKM (Usaha Kecil Menengah) maupun skala industri, hasil produksi usahanya menyasar target pasar yang sama, pasar becek,atau pasar tradisional. “Seharusnya, pelaku usaha skala industri tidak melempar panennya ke pasar becek, tapi menggarap pasar industri dan pasar modern,” ujarnya setengah menuntut.
Menurut dia, usaha peternakan ayam sekelas industri semestinya mampu menciptakan pasar sendiri karena kekuatan modal yang dimiliki, tenaga ahli/konsultan, sampai tim pemasaran. “Tidak sulit bagi mereka menggarap pasar baru, karena sudah punya rumah potong sendiri dengan produk ayam beku segar. Ketika produksi berlebih, karkas bisa disimpan di coldstorage,” terangnya. Kalau itu sudah berjalan dengan baik, peternak skala kecil akan mengikuti. Tapi kalau kondisinya seperti ini terus, kata Sigit, peternak skala kecil sulit bersaing dengan skala industri.
Dijelaskan Yan, dulu peternak rakyat jumlahnya banyak dan mampu bertahan karena aturannya jelas. Ketika itu berlaku Undang–Undang nomor 6/1967 dan Keputusan Presiden nomor 22 tentang peternakan yang mencantumkan pembatasan antara peternak rakyat dengan peternak besar. Pelaku usaha skala industri tidak boleh budidaya, kalaupun budidaya hasil produksinya tidak boleh dijual ke pasar becek dan harus diekspor.
Tetapi, pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid aturan tersebut dicabut/tidak berlaku, pemain skala besar maupun kecil sama disebutnya peternak. “Semua tumpah ruah jadi satu dan ikut dalam satu permainan. Nggak heran kalau banyak peternak mandiri yang rontok,” terang Yan.
Untung Makin Tipis
Menjamurnya peternak kemitraan di daerah Bandung juga disebutkan Jajang Hermawan sebagai sebab tidak stabilnya harga ayam di wilayah tersebut. Peternak mandiri yang didapuk jadi Ketua PPBR (Perhimpunan Peternak Bandung Raya) ini menuding, banyak usaha kemitraan baru yang muncul belum punya pasar. “Alhasil, strateginya adalah harga ayam dibanting lebih murah di bawah harga pasaran agar pasar yang ada bisa direbut,” ujarnya gusar.

Jajang mengatakan, posisi harga ayam yang di bawah HPP (Harga Pokok Produksi) yang berkepanjangan beberapa bulan terakhir menjadi peringatan bagi peternak mandiri. “Kalau kondisi seperti ini terjadi terus–terusan sangat berat bagi peternak mandiri. Yang tidak kuat pasti gulung tikar,” kata dia.
Kadma Wijaya, peternak mandiri yang juga di daerah Bogor, memberikan gambaran makin mepetnya laba dari waktu ke waktu. Disebutnya, kalkulasi margin keuntungan peternak mandiri dari dulu sampai sekarang angkanya di kisaran Rp 500 – 1.000 per kg. “Semakin besar skala usaha, margin keuntungan semakin besar karena semakin efisien,” jelasnya.
Sumarno peternak mandiri dari daerah Mojokerto Jawa Timur juga menyebut kisaran margin keuntungan peternak mandiri saat ini sekitar Rp 500 per kg. Bahkan, angka tersebut dinilainya sudah termasuk besar karena tak jarang margin keuntungan hanya Rp 200 per kg. “Apalagi kalau harga DOC dan pakan naik terus, HPP jadi membengkak otomatis margin keuntungan makin berkurang,” jelas lelaki yang menjadi peternak sejak 2004 ini.
Tetap Pilih Mandiri
Menariknya, sekalipun kerap dibuat jungkir balik dan berdarah-darah oleh gejolak harga ayam hidup di pasaran, para peternak “veteran” ini tak surut tekadnya untuk tetap basah kuyup dalam bisnis broiler. Dan walaupun fluktuasi harga dipastikan masih bakal menghantui usahanya, tidak terbersit oleh para peternak mandiri ini untuk beralih bergabung dalam tren peternakan kemitraan, menjadi mitra (baca: plasma) perusahaan integrator.

Jajang misalnya, bertekad tetap menjadi peternak mandiri. Alasan dia, ingin sepenuhnya merasakan dan membuktikan sejauh mana keuntungan/kerugian yang diperoleh. Soal risiko rugi, kata dia itu konsekuensi dari usaha. Dan alasan utama, tentu saja untung yang bisa diraup. Jajang mengakui, berdasarkan pengalaman, selisih harga jual ayam hidup milik peternak mandiri di pasaran umumnya lebih tinggi ketimbang peternak kemitraan.

sumber : majalah TROBOS Livestock edisi Januari 2013 atau bisa lihat di http://www.trobos.com/show_article.php?rid=4&aid=3709

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nama

TAMU

Flag Counter